Ngomongin "Rentang Kisah"nya Gitasav
Beberapa waktu lalu aku selesai membaca sebuah buku dari
seorang youtuber, blogger, dan sekaligus influencer. Dia adalah Gita Savitri
Devi. Mungkin sebagian dari kalian belum ada yang tau sosok Gita Savitri Devi
atau akrab dipanggil Gitasav ini. Dia adalah orang Indonesia yang kuliah di
Jerman dan sampai saat ini masih tinggal di Jerman. Aku sudah lama mengikuti
dia di instagram dan nontonin video-videonya di youtube. Menurutku setiap
postingan dan unggahannya di instagram maupun youtube sangat inspiratif. Dengan
ciri khas dia yang berani beropini, ceplas-ceplos, dan apa adanya itu. Dari
situlah aku tertarik untuk membeli dan membaca bukunya, Rentang Kisah, yang merupakan buku pertamanya.
Kali ini aku bukan ingin me-review buku. Karena aku belum bisa
dibilang serajin itu baca buku. Jujur ini aja buku bacaan pertama yang kubeli,
karena biasanya aku beli buku untuk soal-soal latihan doang. Ya, semager itu
memang kalau disuruh baca buku. So, disini aku hanya ingin berbagi input yang
telah kudapat setelah membaca buku ini. Di buku ini kak Gitasav menceritakan
kisah hidupnya yang begitu “ajaib”. Proses hidup yang dia lalui, yang tanpa
sadar membuat diri ini juga manggut-manggut meng-iya-kan layaknya juga
mengalaminya.
“Apa tujuan hidupmu?”
Pada halaman belakang buku ini kita akan menemui suatu
pertanyaan yang mungkin bagi kak Gita sendiri bingung untuk menjawabnya jika
ditanyakan kepadanya saat remaja. Sama seperti dia. Jika saat remaja diri ini
ditanya seperti itu pasti bingung juga mau jawab apa. Saat remaja waktuku hanya
ku isi dengan sekolah dan main-main doang. Main ke luar rumah pun jarang karena
memang aku anak rumahan. Ibaratnya tuh, masalah terberat hanya sebatas ulangan
Matematika ataupun IPA. Mau jadi apa di masa depan kelakpun belum ada bayangan
sama sekali. Aku juga belum tau apa yang menjadi passion-ku. Sama seperti kak Gita, tujuan hidupku hanya sekedar
menjalani apa yang ibuku pilihkan.
Berbicara sosok ibu, di bagian pertama buku ini kak Gita
menuliskan bahwa dulu hubungannya dengan sang ibu kurang harmonis. Aku membaca
part ini manggut-manggut sambil membayangkan, “oh aku dulu juga pernah gitu”.
Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Aku punya kakak cewek dan adik cowok. Dulu
aku merasa ibu selalu membanding-bandingkan aku dengan kakakku. Aku kurang
rajinlah, kurang telaten lah, kurang ramah cemberut mulu, kurang perhatian sama
ibu lah, dan kurang-kurang lainnya. Mungkin hal itu juga yang membuatku yang
dasarnya memang agak keras kepala dan temperamen jadi semakin temperamen lagi.
Menurut ibu semua yang aku lakuin salah. Pertengkaran kecilpun gak jarang
terjadi. Ibu dapat pembelaan dari kakak, ya jelas aku selalu kalah di setiap
debat sama ibu. Ujung-ujungnya aku cuma bisa nangis di kamar. Karena hal itulah
akhirnya membuat diri ini jadi takut sama sosok ibu. Takut kalau tiba-tiba dia
marah. Namun seiringnya waktu, setelah dewasa akhirnya aku sadar. Ibu marah
karena memang anaknya salah. Ibu mendidik anak-anaknya dengan caranya sendiri
tanpa harus dengan dimanja. Justru sekarang aku melihat ibuku sebagai sosok
wanita tangguh dan sabarnya minta ampun. Mungkin jika aku berada di posisinya
belum bisa setangguh itu. Maafkan aku yang dulu masih terlalu kanak-kanak untuk
mengerti.
Selanjutnya kak Gita menuliskan kalimat yang untuk kesekian
kalinya membuat diri ini nganggukin kepala. Kalimatnya gini, “Banyak
orang bilang, ambilah jurusan yang sesuai dengan passionmu. Masalahnya, aku
nggak tau passion aku apa”. Waktu SMA adalah waktu dimana harus lebih giat
lagi belajar. Apalagi masuk kelas 3, kita harus sudah memiliki planning tujuan hidup kita ke depan.
Kita akan dipusingkan dengan milih jurusan apa dan kuliah di universitas mana
nantinya. Belum lagi pusing mikirin UAS dan UN. Saat inilah aku merasa aku
“kudet” tentang jurusan apa saja yang ada di luar sana. Ini pernah kubahas di
tulisanku sebelumnya sih. Aku bingung mau ngambil jurusan apa setelah lulus.
Nilai akademikku lumayan bagus. Aku juga pernah mengikuti Olimpiade MIPA dan
Biologi Nasional. Tapi apakah itu passionku?
Sampai akhirnya aku masuk jurusan Analis Farmasi yang menurutku cukup men-challenge diriku sendiri. Menekuni
bidang ini sampai sekarang membuatku mengerti bahwa, “oh ini loh kehidupan yang bakalan aku jalanin”.
Selain kehidupan dengan lingkungan sekitar, kak Gita juga
menyinggung sedikit tentang kehidupan pribadinya, hubungannya dengan kak Paul
yang sebelumnya beda agama. Tapi sebelum kenal dengan kak Paul, kak Gita pernah
mengalami sakit hati dikhianati seorang yang dikasihi. Layaknya anak muda pada
umumnya, di usia 20 ke atas memang lika-liku dan problematika kehidupan mulai
terasa. Aku pun bahkan semua orang pasti pernah mengalami dan memang sakit hati
itu wajar dan itu resiko kalau kamu terlalu berharap kepada manusia. Seperti
kata kak Gita, “Ternyata ada beberapa hal di dunia ini yang nggak bisa kita utak-atik,
memang bukan kuasa kita”. Seberapa sayang dan cintanya kita kepada
seseorang jika memang bukan takdirnya bersama pasti akan berpisah. Sedih wajar.
Tapi kalau sampai berlarut-larut itu yang nggak sehat. Aku belajar selalu
mengingatkan ke diriku sendiri untuk nggak terlalu banyak ekspektasi. Karena
sebenernya, berharap kepada apapun selain Tuhan itu nggak sehat. Manusia hanya
bisa berusaha dan berdo’a, sisanya bukan kuasa kita.
Terakhir kalimatnya kak Gita yang menurutku paling ngena di
hati adalah, “The purpose to live a
happy life is to always be grateful and don’t forget the magic word: ikhlas,
ikhlas, ikhlas”. Benar-benar magic word. Dari sini aku harus selalu sadar,
pada dasarnya hidup yang aku miliki ini bukan hanya diisi dengan mengejar ini
dan itu, bukan hanya tentang aku, aku, dan aku. Tetapi untuk menghadapi dan
menikmati keseruan yang dikasih sama Allah. Menjadi baik untuk diri sendiri,
keluarga, dan orang lain di sekitar kita. Terlepas dari kegagalan-kegagalan
yang kudapat, masih banyak sekali yang patut aku syukuri. Diri ini terlalu
berharga untuk disalahin dan disakitin. Sayangi dan rawat.
“Whatever that may
come, you and I just need to do well, be nice to ourselves, to people around
us. Because we are given only once chance. We only live once”. (Gitasav,
2017)
~~~
Komentar
Posting Komentar