Merasa Asing di Rumah Sendiri
Merasa Asing di Rumah Sendiri
(Milu Asri Riya, Juli 2020)
Sudah hampir 4 bulan diberlakukannya kegiatan daring dan bekerja dari rumah karena
virus corona ini membuatku kadang merasa bosan dengan kegiatan yang monoton ini
itu. Sekitar seminggu terakhir ini, tempat kerjaku sudah memberlakukan sistem
kerja new normal, yang sebelumnya
masih berlaku sistem piket (3 hari masuk dalam seminggu). Namun untuk
mahasiswanya sendiri masih diberlakukan sistem daring. Ya memang, kondisi saat ini belum sepenuhnya aman. Dan
karena kelamaan “leha-leha”, efeknya ke badan yang biasanya digunain untuk
kerja sampai melebihi jam kerja ini jadi agak lembek. Ternyata benar, badan
kalau gak ngapa-ngapain justru pegel-pegel.
Bicara soal kondisi situasi yang belum sepenuhnya aman, diri
ini jadi parno kalau mau pulang kampung. Takutnya kita yang berasal dari kota
yang notabenenya masih zona merah
ini, membawa virus (carier) yang bisa
ditularkan ke keluarga di rumah. Jadi kira-kira hampir 6 bulan aku belum mudik
terhitung sejak mudik terakhir tahun baru bulan Januari kemarin. Kalau ditanya
apa gak kangen orang tua? jawabku sudah pasti, iya tentu kangen. Tapi mungkin
karena semenjak aku kuliah jadi anak kosan dan jarang pulang, jadi misal lama
gak pulang pun ya rasanya sudah biasa. Ditambah lagi aku merasa situasi di
rumah tidak senyaman dulu. Mengapa demikian?
Keluargaku memang bukan tipikal keluarga yang romantis. Keluargaku
bukan keluarga yang pinter nunjukin perasaan kasih sayang. Orang tua juga gak
pernah ngerayain ulang tahun anak-anaknya. Syukur kalau masih inget tanggal
lahir anaknya. Jadi pas ngeliat temen upload Whatsapp story ataupun Instastory
pas ulang tahunnya dirayain bareng keluarga rasanya aneh aja. Dan karena hidup
di keluarga yang gak pandai ngutarain kasih sayang, dan perasaan lainnya inilah
aku jadi ngerasa gak bisa terbuka sama keluarga sendiri. Untuk sekedar curhat
pun kadang merasa gengsi. Saking tertutupnya sama keluarga sendiri, kadang juga
sampai kebawa keluar rumah. Menjadikanku pribadi yang tertutup dan introvert. Tapi
sekarang, sedikit demi sedikit aku mulai bisa cerita jika ada masalah, cerita
ke temen bukan ke keluarga apalagi orang tua.
Jika anak-anak lain di luar sana apapun ceritanya ke ibunya,
ke ayahnya, ke keluarganya, aku bukan seperti itu. Apalagi sekarang udah umur
24 tahun udah gede udah dewasa, jadi merasa apapun masalahku aku bisa ngadepin
sendiri. Jika denger statement gini, “eh anak cewek tuh biasanya lebih deketnya
sama ayahnya loh”, aku yang merasa tidak terlalu dekat dengan ayah sendiri
pasti dalam hati aku menjawab, “enggak. aku nggak seperti itu”.
Balik lagi ke pertanyaanku di atas, mengapa aku sekarang
merasa kurang nyaman berada di rumah? jawabannya pertama, karena mungkin waktu
yang kuhabiskan lebih banyak di perantauan dibanding di rumah, kedua karena
jika di rumahpun terkadang orang rumah sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri
jadi jarang sekali moment untuk berkumpul atau sekedar ngobrol intens, dan
ketiga, hubungan ayah ibuku memang tidak seharmonis dulu. Point ketiga ini yang
membuatku kadang merasa jika aku pulang ke rumah yang niatnya mau refreshing
dari hiruk pikuk kondisi perkotaan, justru merasa pikiran jadi makin pusing
melihat perang dingin orang tua yang penyebabnya ada aja tiap harinya. Sebagai
anak siapa sih yang gak pengen orang tuanya akur dan harmonis. Menyaksikan
hal-hal seperti itu setiap kali di rumah pasti hati jadi gusar, pikiran nggak
tenang, ujung-ujungnya merasa asing dan nggak nyaman di rumah sendiri.
Orang tua memang bukanlah sosok yang sempurna. Mereka juga
manusia yang punya banyak kekurangan dan banyak melakukan kesalahan. Begitupun
juga anak. Sebagai anak, aku belum bisa menjadi anak yang bisa diandalkan.
Sekedar bertanya apa masalah mereka pun diri ini kadang tak berani. Apalagi ke
ayah. Ayah bagiku sebuah rumah yang memiliki tembok batas yang besar dan kuat,
sehingga anaknya sendiri kadang enggan dan tak berani untuk sekedar bertanya
masalah dan perasaan beliau yang sebenarnya. Sosok yang dulunya sangat kukagumi
dan kuhormati karena kerja keras dan kasih sayangnya kepada keluarga, sekarang
menjadi sosok asing yang bahkan jika ngobrol di via telvon pun diri ini bingung
mau bahas apa.
Mungkin kalian yang baca ini berasumsi kalau rasa asing yang
tercipta itu karena kurangnya komunikasi dengan keluarga. Ya kalian benar.
Komunikasi itu penting dalam hubungan. Tapi balik lagi, meski mereka orang
tuaku, mereka memiliki privasi dan memiliki egonya sendiri. Aku sendiri sebagai
anak belum bisa menembus egonya tersebut. Karena mereka tetap pada pendirian masing-masing.
Merasa sudah yang paling benar dan menganggap yang lain belum benar.
Aku menulis ini bukan bermaksud membuka aib keluarga ataupun
kejelekan dalam keluarga sendiri. Sama sekali tidak. Aku hanya sekedar ingin
menyampaikan bahwa tidak ada keluarga yang sempurna, tidak ada orang tua yang
sempurna, dan tidak ada anak yang sempurna. Karena memang kita manusia, bukan
Tuhan Yang Maha Sempurna. Terakhir, bagaimanapun orang tua kita sekarang ini tetap
hormati, kasihi dan sayangi mereka.
Akupun begitu .... 😔
BalasHapusSemangatttt ! Gaboleh sedih hehe.
BalasHapusTerimakasih sudah mampir🤗