Bicara Tentang Kegagalan


Bicara Tentang Kegagalan

(Milu Asri Riya, Maret 2020)

Kegagalan. Jika mendengar kata itu, apa yang terlintas di pikiran kalian? Apa definisi “kegagalan” menurut kalian? apakah pengertian “kegagalan” itu absolut atau relatif? Kalau menurut aku sendiri, aku merasa gagal ketika belum bisa mewujudkan keinginan dan harapan orang tua dan keluargaku. Terdengar kurang spesifik sih. Tapi selama ini memang seperti itu adanya. Merasa down ketika harapan keluarga sudah di depan mata namun diri ini belum bisa menggapainya. Terdengar seperti anak yang penurut ya aku... ohh sebenarnya tidak seperti itu juga. Mungkin selama ini aku merasa keinginan keluarga terhadap diriku, aku berpikir memang itu baik, dan tidak salahnya untuk kucoba. Lalu keinginanku sendiri sebenarnya apa?
Sejak dari SD, SMP, sampai SMA alhamdulillah aku selalu mendapat peringkat pertama di kelas. Saat menerima rapor hasil belajar pun aku merasa seperti sudah yakin bahwa nilaiku bagus. Selain itu aku juga sering mengikuti lomba-lomba maupun olimpiade. Tentu ayah ibuku senang melihat anaknya berprestasi. Ekspektasi mereka pun tinggi kepadaku. Bahkan saudara dan juga teman-temanku selalu memujiku. Bukan hanya mereka, aku pun juga akhirnya menaruh ekspektasi yang besar kepada diriku sendiri. Mungkin itu sebabnya membuat mentalku lemah akan kegagalan. Merasa langsung down jika mengalami sedikit saja kegagalan dan mungkin saja waktu itu aku belum mengenal apa sebenarnya itu tantangan. Balik lagi ke ambisi ambisi ambisi, dan ekspektasi tinggi.
Sampai di penghujung kelas 3 SMA saat musim-musimnya pendaftaran Perguruan Tinggi, jujur, sebenernya diri ini maunya kemana? setelah lulus nanti pengen jadi apa? Sumpah. menurutku jaman-jaman itu aku mengalami yang namanya “kudet” akan jurusan apa saja yang ada di luar sana. Daftar SNMPTN dan SBMPTN pun itu aku milih jurusan yang memang jadi cita-cita dan keinginanku dari kecil. Guru. (aku sendiri gak yakin sih itu memang passion ku disitu atau sekedar “cita-cita” yang dibuat anak SD yang dipegang teguh sampai SMA? ). SNMPTN aku gagal. Nangis aku. SBMPTN pun gagal. Nangisnya lebih kenceng. Sampai Jalur Mandiri salah satu PTN di Surabaya pun aku gak lolos. Ini nangisnya lebih lebih lebih kenceng lagi dan rasanya diri ini sudah pesimis banget. Karena itu jalur terakhir aku bisa masuk PTN. Balik lagi, keluargaku (dan akupun juga) harapannya bisa masuk PTN. Disinilah aku merasa mengalami a quarter life crisis (aelahh gaya banget). Keluargaku ekonominya pas-pasan. Mereka mendukungku untuk kuliah itu aja rasanya seneng banget. Namun ketika aku gak lolos masuk PTN harapan pengen kuliah tiba-tiba sirna dan akupun memutuskan untuk kerja dulu saja. Namun kakakku tidak setuju aku bekerja. Akhirnya dia memutuskan untuk mau membiayai kuliahku dan menyarankan masuk PTS saja. Sekali lagi. Aku nurut. Daftarlah aku di suatu Institut Ilmu Kesehatan di Kediri.
Aku lolos. Pada saat itu aku memilih jurusan atas saran dari kakakku. Karena memang sebelumnya aku gak ada bayangan masuk kesehatan. Aku “buram” akan jurusan apa saja yang ada di bidang ini. Aku masuk di jurusan D3 Analis Farmasi dan Makanan. Jurusan apa itu? sebelumnya aku belum pernah mendengarnya. Dan yang familiar di otakku jurusan kesehatan itu hanyalah bidan, perawat, gizi, bahkan farmasi pun aku baru “ngeh” kalau ada jurusan itu (astaga aku tinggal di belahan bumi mana sih? kudet sekali diri ini L ). Googling lah aku. Ohh ternyata jurusan yang aku ambil ini nantinya prospek kerjanya di industri bagian laboratoriumnya.
Selama kuliah pun alhamdulillah IPK ku gak jelek-jelek amat. Masih masuk 3 besar. Untuk pertama kalinya aku bukan di posisi pertama. Down? nggak juga sih. Karena dari awal aku sadar bahwa teman sekelasku ini dari berbagai daerah yang berbeda dan tentu saja dengan kemampuan yang berbeda-beda. Jadi, ekspektasi kepada diriku ini tidak terlalu tinggi. Di bangku kuliah pun aku hanya jadi mahasiswa yang “mencari ilmu” tok. Aku tidak ikut organisasi apapun. Pengalamanku pun akhirnya kurang. Mungkin dulu karena aku anaknya agak introvert. Di penghujung semester 5-6 aku mulai merasa aku butuh pengalaman untuk bekal setelah aku lulus nanti. Ikutlah aku lomba-lomba karya tulis. Alhamdulillah masuk semifinal. Di semester 6 aku sudah mulai disibukkan menyusun tugas akhir/KTI. Dimulailah drama nangis-nangisannya. Aku anaknya emang ringkih dan agak cengeng sih. Capek dikit nangis, salah dikit nangis, dikit-dikit ngeluh. Ujung-ujungnya aku cuma bisa ngadu ke orangtua di rumah.
Oktober 2017 aku Wisuda. Alhamdulillah Cumloude dengan IPK 3,75. Keluargaku semua datang. Ayah, Ibu, kakak, dan suaminya kakak. Melihat mereka datang di acara kelulusanku aku bahagiaaa banget banget banget. Sebelumnya aku belum pernah merasakan sebahagia itu. Allah baik banget. Padahal diri ini masih suka ngeluh :’). Dan kegalauan nyari pekerjaan pun dimulai. Semua sudah aku coba masukin lamaran. Dari yang industri obat, kosmetik, jamu, sampai apotek pun ku coba lamar. Dari yang deket-deket aja, sidoarjo-surabaya, sampai yang jauh seperti Pasuruan, Malang, Semarang bahkan Jakarta. Wajarlah. Fresh Graduate apapun dan dimanapun pasti kalau ada loker langsung dilamar. Drama nangis-nangispun tak luput. Melihat teman yang udah dapet pekerjaan nangis, mendengar teman ada panggilan interview pun nangis, dannn udah tau kalau anaknya ini cengeng, ibuku malah banding-bandingin sama saudara yang dapet pekerjaan enak. Disitu aku merasa down lagi.
Akhir 2017, bulan Desember, aku diterima kerja di salah satu Klinik dan Apotek di Sidoarjo. Itu pekerjaan pertamaku. Walaupun itu sama sekali beda banget sama jurusanku. Semasa kuliah aku gak dapet ilmu kefarmasian dan pelayanan, yang kupelajari kan analisis laboratoriumnya. Terus kenapa aku lamar? Balik lagi, aku fresh graduate. Minggu pertama aku kerja disana aku merasa bodoh dan gak ngerti apa-apa. “Ya Tuhan ini namanya obat apa? Fungsinya apa?”. Okelah itu masih bisa kuatasi dengan belajar lagi, searching google. Tapi ada 1 kendala, yaitu ketika ada pasien atau pembeli tanya, “Mbak obat untuk sakit ini apa?”. Jujur itu pertanyaan paling seram melebihi pertanyaan dari penguji. Sumpah. Gimana gak seram. Coba bayangin, kalau aku salah ngasih obat lalu ada apa-apa sama pasien itu gimana. Nyawa taruhannya. Akhirnya kalau ada pasien tanya seperti itu, aku tanya dulu ke teman yang lebih tau. Daripada aku salah ngasih obat. Dan nggak terasa aku sudah sebulan di klinik itu. Selama sebulan itupun aku merasa otodidak dalam pekerjaanku. Sampai dimana aku mencoba melamar pekerjaan yang lain. Alasannya selain aku merasa kurang tantangan di pekerjaanku ini (yang notabenenya hanya duduk-duduk, melayani pasien, nyatet keluar masuk obat), aku juga ingin mandiri, nge kos sendiri. Karena waktu itu aku masih numpang di rumah kakakku.
Mulai lah aku nglamar pekerjaan sana-sini. Prioritasku masih sama, industri. Namun waktu itu rejekiku di suatu instansi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di Krian. Aku melamar bagian Laboran Farmasi. Laboran, okelah ilmu ke-laboratoriumku sedikit berguna. Farmasi, hai kita berjumpa kembali. Ekspektasiku jelas nanti ilmu otodidakku berfungsi kembali :D. Sudah 2 tahun berjalan aku bekerja disini dan sampai sekarang. Krasan? alhamdulillah rekan kerjanya baik-baik dan humble. Menghadapi mahasiwa? mereka sudah kuanggap seperti adik sendiri. Suka duka pekerjaan pasti ada. Apalagi 2 tahun bukan waktu yang singkat. Nangis? oh sering. Alasannya masih sama. Capek hati dan pikiran.
Tahun 2018 ada pembukaan CPNS. Daftarlah aku. Itu tahun pertama aku kerja di STIKES. Waktu itu aku melamar formasi Assistant Apoteker di salah satu Puskemas di tempat tinggalku. Alasannya supaya dekat dengan keluarga aja sih. Kebodohanku kambuh lagi. Jelas-jelas di persyaratannya ijazah lulusan D3 Farmasi, lahh tetep aja aku lamar (mungkin karena aku terlalu berambisi L). Pengumuman administrasi jelas dong aku gak lolos. Nah baru sadar kalau ijazah harus benar-benar sama. Sempet nangis. Tapi nangisnya lebih ke merasa bersalah ke orang tua. Kalau diriku sendiri sebenernya dari awal tidak begitu yakin untuk ke Apotek, karena bukan passionku. Waktu berjalan seperti biasa. Tiba di penghujung tahun 2019 dan dibuka pembukaan CPNS kembali. Daftarlah aku. Kesempatan kali ini aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama lagi. Aku mendaftar ke instansi yang memang dipersyaratkan ijazah D3 Anafarma. And the one and only, BNN-Pengelola Laboratorium Pusat. Penempatan di Jakarta. Minta saran dan ijin orang tua dulu. Alhamdulillah mereka mendukung. Akupun lolos seleksi administrasi, setidaknya mengobati rasa traumaku. Selanjutnya tahap SKD. Alhamdulillah masuk passing grade. Namun aku mulai gundah gulana. “Jakarta itu jauh lo. Gaya hidupnya juga beda banget sama disini. Kamu yakin?”, pikiranku sudah kemana-mana. Tapi saat seperti itu untung saja aku sudah melewati batu-batu kerikil, asam-manisnya mencari pekerjaan. Jadi insyaallah aku bisa (Allah beside me). Jeng jeeennnggg, tibalah saat pengumuman hasil SKD dan yang bisa ikut tahap SKB. Saat itu adalah saat ini. Saat aku menulis cerita ini, 23 Maret 2020. Aku membuka laman pengumuman itu rasanya campur-campur. Tapi optimis yakin aku lolos itu besar. Melihat aku mengantongi nilai 370 saat SKD. Dengan pelan dan teliti aku scroll halamannya. Tibalah aku di formasi jabatanku. Mataku langsung tertuju ke nomor 1, 2, 3. “Huaaaaa namaku kok gak ada L” dan ternyata aku belom bisa masuk tahap SKB di Jakarta. Aku di peringkat ke 17. Rasa optimisku yang ku bangun tinggi-tinggi itu runtuh seketika. Ambisi dan Ekspektasi melayang begitu saja. Pikiranku langsung teringat 6 tahun lalu. Rasanya persis. Persis seperti belum lolos PTN yang kumau. Apakah aku “gagal”? sepertinya iya. Jika sampai saat ini, definisi “kegagalan” versiku adalah ketika aku belum bisa mewujudkan keinginan orangtua dan keluarga. Keluarga terutama ibuku, ingin sekali melihat anaknya sukses. Melihat anaknya bisa hidup berkecukupan di masa depannya nanti. Jujur akupun juga ingin sekali jadi PNS. Tapi, sepertinya Sang Maha Pemilik Kehidupan memiliki rencana terbaik buat aku J.
Aku menulis ini sebenarnya hanya ingin meluapkan perasaan yang terpendam. Perasaan yang mungkin tidak bisa kuceritakan kepada siapapun bahkan keluargaku sendiri. Dan setelah menulis ini alhamdulillah lega rasanya. Bisa mengeluarkan apa yang ingin aku keluarkan dari isi otakku ini.
Dari perjalanan kisah hidupku ini, mulai dari galau milih jurusan, galau gak lolos PTN, galau melamar pekerjaan, sampai galau ditolak CPNS, aku bisa mengambil hikmah dan kesimpulannya. Diri ini kecil, jika ambisimu terlalu besar dan ekspektasimu terlalu tinggi, ketika kamu mengalami hasil yang tidak sesuai dengan ekspektasimu dan kamu belum siap akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, kamu akan merasa gagal-merasa down-bahkan merutuki diri sendiri. Sedih boleh, kecewa wajar, tapi jangan berlarut. Ingat. Dirimu terlalu berharga. Dirimu sudah berusaha. Hargai usaha yang telah dirimu lakukan. Jangan lupa ucapkan terimakasih kepada diri sendiri juga. Resiko kegagalan atau keberhasilan itu pasti ada disaat kita mencoba. Lalu, bagaimana untuk tidak takut akan kegagalan? Jangan memasang ambisi dan ekspektasi terlalu tinggi kepada dirimu. Apapun hasilnya tetap bersyukur, dan kunci bersyukur adalah ikhlas.
Ingat. Loving your self and your life.
Percaya. Allah Sebaik-baik Perencana.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merasa Asing di Rumah Sendiri

Pengemulsi, Pengental, dan Pemantap

Halo! Ada yang Mampir Lagi Nih!